Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menuai Memori di Festival Lereng Telomoyo


Langit cerah dan matahari yang garang menemani langkah kami menuju Dusun Tanon, Ngrawan, Getasan, Semarang, Jawa Tengah. Hari itu, tepatnya 12 Oktober 2019 saya, para blogger dan teman-teman media berkunjung untuk menilik Festival Lereng Telomoyo. Sejatinya festival ini digelar 2 hari pada 12-13 Oktober 2019.

Di sebuah panggung beralaskan karpet merah, anak-anak Dusun Tanon mempersembahkan sebuah tarian. Geculan Bocah, nama tarian tersebut, sebagian besar gerakannya diadaptasi dari tari Warok namun disesuaikan dengan dunia bocah sehingga disisipkan pula gerakan dari permainan tradisional anak, guyonan anak dan dirias dengan dandanan yang lucu.

Saya yang awalnya berteduh langsung maju ke kursi baris terdepan untuk melihat makhluk-makhluk mungil berselaras dengan tabuhan gamelan. Mereka begitu bersemangat menari meski sang Surya sangat terik. Tak jarang kami tertawa melihat tingkah polah guyonan yang disuguhkan. Dalam hati bahkan saya bertanya-tanya berapa umur anak yang terlihat paling muda nan menggemaskan.


Kaum tua tak mau kalah. Menari mungkin sudah sulit mereka lakukan. Di depan rumah seorang warga, ibu-ibu Dusun Tanon memperlihatkan kemampuannya. Dengan sebuah kayu panjang berlubang dan alu mereka menciptakan irama yang apik. Bergantian memukul dan menghentak, mereka memainkan Lesung Jumengglung.

Kemudian beberapa anak muda menyeruak masuk ke dalam kerumunan sembari menaiki egrang. Egrang itu bagai perpanjangan kaki yang tampak mudah dikendalikan. Saking penasarannya saya pun mencoba. Ternyata untuk mengangkat satu bilah bambu saja susah. Tapi hal itu tidak berlaku bagi remaja Dusun Tanon. Egrang memang sudah jadi permainan mereka sehari-hari.

Begitu pula dengan Suda Manda. Permainan tradisional itu mengingatkan saya akan masa kecil yang manis. Sebelum ke Dusun Tanon saya kira Suda Manda sudah punah. Ternyata di Dusun Tanon masih lestari, bahkan pengunjung diajak bermain bersama.



Dusun Tanon adalah kampung kecil yang terletak di lereng Gunung Telomoyo, bersebelahan dengan Gunung Merbabu. Mayoritas masyarakat Dusun Tanon beraktivitas sebagai petani dan peternak sapi perah. Di balik fakta tersebut, sebagian besar penduduk Dusun Tanon berjiwa kesenian tinggi.

Bukan hanya Festival Lereng Telomoyo, namun pertunjukan juga akan digelar di hari-hari besar lain seperti hari besar keagamaan, tujuh belas Agustus atau hari Kartini.

Sekarang setiap tahunnya, ribuan orang datang mengunjungi Dusun Tanon. Festival Lereng Telomoyo sendiri ditargetkan mencapai 1500-3000 kunjungan.

Tapi hal ini bukan ujug-ujug. Ada kiprah seorang pemuda desa di baliknya.

Saya miris, profesi peternak, nelayan, petani mulai kehilangan generasi penerusnya. Anak muda meninggalkan wilayahnya.
Pemuda itu adalah Trisno. Lelaki kelahiran 14 Oktober 1981 yang berhasil mengubah cara pandang warga Dusun Tanon.

Di hadapan blogger dan awak media, lulusan Universitas Muhammadiyah Surakarta itu menceritakan prosesnya berjuang mengembalikan minat generasi muda membangun desa.
Kami mendorong anak muda kalau bertani tidak mesti mencangkul, berternak tidak harus masuk kandang tetapi membantu orangtua mereka memperoleh akses pasar dan membuat komunitas yang membuka ruang di pertanian dan peternakan.
Menurutnya wisata adalah pintu masuk yang efektif dalam melakukan konservasi dengan fokus membuat laboratorium sosial berkonsep pemberdayaan.  Di tahun 2012 upayanya mendapat sambutan positif dari warga Dusun Tanon.

Berbeda dengan wisata di daerah lain, di Dusun Tanon tidak ada objek wisata yang dibangun. Pengunjung akan mendapatkan pengalaman dari seluruh aktivitas keseharian masyarakat di sana. Misalnya berkesenian, bertani, beternak sapi hingga dolanan anak.

Sejauh ini menurut Trisno, apa yang ingin ia capai sudah cukup mendekati impian. Input ke dalam Dusun Tanon itu sendiri membuat pendapatan warga meningkat. Seringnya interaksi warga dengan orang luar pun mempengaruhi pola pikir dan wawasan.

Selain menjadi pemandu wisata atau berjualan di pasar rakyat, warga juga ada yang membuka homestay. Tapi ia memberi syarat rumah yang disewakan tidak boleh dalam keadaan kosong. Artinya warga harus tetap tinggal di rumah tersebut agar terjadi pembauran dengan penyewa.

Dalam hal kontribusi ke dunia luar, Trisno ingin mengabarkan bahwa dolanan tradisional yang mati suri di negara ini sejatinya masih ada di Dusun Tanon. Keberadaan seniman lokal juga diberikan panggung beraktualisasi diri.

Ujar Kang Trisno, mencintai dan memberi sumbangsih ke bumi pertiwi ini adalah dengan memperhatikan aspek makro dan mikro yang ada di lingkungan sekitar. Maka tak heran jika usahanya membuahkan hasil.

Pada tahun 2015 ia menerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards untuk kategori Lingkungan. Sejak November 2016 pula Astra menetapkan Desa Menari Tanon sebagai Kampung Berseri Astra pertama di Jawa Tengah.

Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan salah satu bentuk kontribusi sosial Astra untuk masyarakat dengan konsep pengembangan terintegrasi empat pilar program tanggung jawab sosial perusahaan yang meliputi pendidikan, kewirausahaan, lingkungan dan kesehatan.

Bagi Dusun Tanon, di bidang pendidikan, masyarakat diberi tambahan pendidikan informal seperti diajak berdiskusi, diajari cara berbicara di depan forum. Di bidang kewirausahaan diupayakan penyediaan paket-paket wisata dan pengadaan pasar rakyat.

Di pilar lingkungan, Astra membantu perbaikan kamar mandi, konservasi mata air, dan sosialisasi hidup sehat. Serta bidang kesehatan, Astra memfasilitasi pemeriksaan kesehatan tanpa biaya bagi warga Dusun Tanon, bahkan tersedia kader kesehatan 'jemput bola'.

Lihatlah suatu hal yang sederhana dari sudut pandang yang berbeda, lakukan dengan cara yang berbeda, nikmati prosesnya pasti hasilnya berbeda.


Sebelum meninggakan Tanon, kami sempat menikmati Tari Topeng Ayu. Disajikan kepada pengunjung oleh beberapa pemuda dan pemudi, tari topeng ini diiringi alunan gamelan yang menghentak.

Tari Topeng Ayu merupakan transformasi dari Tari Topeng Ireng, sebuah tari yang terinspirasi dari gerakan penyamaran zaman perjuangan menggunakan angus (warna hitam pada kayu yang dibakar). Namun kini alih-alih melumuri muka dengan angus, para penari malah dirias dengan cantik.

Durasi yang lebih lama dari Tari Gejulan Bocah tidak lantas membuat Tari Topeng Ayu jadi membosankan. Bahkan hingga kini, musiknya masih terngiang di telinga dan ekspresinya masih terbayang di benak saya. Ya, Festival Lereng Telomoyo memang menuai memori yang mengesankan.

2 comments for "Menuai Memori di Festival Lereng Telomoyo"

  1. Lucu sekali adik-adik penari Geculan Bocah. Keren ya adik-adik itu udah pinter menari sejak masih kecil. Para remaja dusun Tanon pun aktif menjadi penari Topeng Ayu. Memang keren-keren banget tarian di dusun Tanon.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya gemes aku sama yang imut-imut uda pinter nari

      Delete