Mencari Penyebab Tidak Sama Dengan Menyalahkan!
Kebiasaan menyalahkan sesuatu ketika anak menangis, pasti cukup familiar di kehidupan kita sehari-hari.
Contoh kasus:
Anak tersandung dalam proses belajar jalan di usianya yang masih balita adalah wajar, namun sang nenek segera menolong si cucu kemudian segera mengetuk-ngetuk lantai tempat cucunya jatuh.
"Duh, cucu nenek tersayang, memang nakal ini lantainya, cucu nenek jadi jatuh kan, sini lantainya nenek pukul".
Saya menyebutnya gaya pengasuhan zaman dahulu karena zaman sekarang bila yang mengasuh adalah ibunya sendiri dengan usia berkisar dua puluhan hingga tiga puluhan, jujur saja sangat jarang menemui hal serupa.
Alih-alih menyalahkan, biasanya ibu-ibu muda kini akan membantu sang anak dan menasehati "ayo nak bangun, lain kali hati-hati ya jalannya". Terkadang malah ada ibu yang hanya melihat si anak dan menyemangati saja dari kejauhan.
Maka bila ada teman-teman pembaca yang kebetulan singgah di tulisan ini dan masih mengasuh anak dengan gaya zaman old seperti contoh pertama, yuk kita hentikan hal demikian.
Mungkin saya bukan psikolog atau pemerhati perilaku bersertifikat, ya saya hanya ibu rumah tangga biasa namun saya berbicara berdasarkan pengalaman.
Jika gaya pengasuhan zaman dulu yang terlalu sering menyalahkan hal lain itu berlanjut niscaya anak akan terbiasa pula menyalahkan di saat ia dewasa kelak. Atau, ia kerap merasa selalu disalahkan ketika terlibat dalam pembicaraan yang sebenernya tujuannya ingin mencari penyebab bukan mencari pelaku. Apakah teman-teman paham maksud saya?
Contohnya simpel saja ya:
Sebuah gelas yang ada di dapur pecah berkeping-keping. Di rumah ada 3 anggota keluarga yaitu ibu, ayah dan anak usia 10 tahun.
Sang ibu yang menginjak pecahan gelas hingga terluka bertanya pada dua anggota keluarga lain.
"Gelas tadi ditaruh di mana kok bisa pecahannya sampai ke ruang tengah? "
Si anak menjawab bahwa sang ayah yang meletakkan di meja tamu lalu tersenggol.
Ayah yang mendengar jawaban anak langsung emosi "ya, tadi saya yang menyenggol. Tapi kan sudah saya sapu pecahannya. Lagian beli gelas kok kualitasnya jelek, senggol dikit langsung ambyar".
Nah itulah, padahal si ibu cuma nanya letaknya gelas yang pecah malah dijawab dengan pembelaan plus menyalahkan pihak lain.
Well itu hanya contoh saja ya teman.
Akhir kata saya tidak memberi nilai buruk semua bentuk pengasuhan masa lampau yang dilakukan leluhur kita, sungguh tidak demikian. Bagi saya banyak juga hal baik yang dapat diambil dan diteruskan turun temurun, namun sebagaimana zaman berkembang, ada pula yang sebaiknya diperbaharui.
Bagaimana menurut pendapat teman-teman. Apakah setuju dengan tulisan ini?
Posting Komentar
Mohon maaf yang memasukkan link hidup dihapus otomatis ya.
Salam Blogging!